Sepi! Ketika embun-embun pagi masih menggelayut di antara ujung-ujung rerumputan yang kini kian rindang diantara berbarisnya batu nisan di pemakaman itu. Ketika pagi masih menyergap dingin yang semakin membekukan langkah kaki.
Hanya kerlingan mata yang mampu menyapu sekeliling hamparan lahan tandus yang kini mulai basah diterpa musim hujan di masa penghujung tahun ini.
Aku masih berdiri.
Bukan arena wisata yang aku harapkan, bukan pula kesendirian di puncak gunung Semeru yang aku impikan untuk sekedar mengisi waktu di penghujung dasawarsa pertama di abad ini. Seperti yang mereka semua rencanakan. Namun, cukup dengan sebuah kemampuan untuk melangkah lebih bijak, itupun aku kira sudah lebih dari cukup dari semuanya.
Untuk itu, pagi ini aku langkahkan kaki menuju sebuah tempat dimana orang-orang mulai melupakan mereka yang sebelumnya pernah mereka cintai. Sebuah tempat dimana orang-orang mulai membiarkan mereka yang sebelumnya pernah mereka sayangi kini terbujur kaku dan sendiri. Disana. Pemakaman yang akan menjadi terminal menuju babak baru yang telah lama semestinya kita ketahui.
Matahari pagi yang kini mulai menggeliat lemah dibalik awan di ufuk sana, ataukah hembusan angin yang kembali dingin, yang mengelus perlahan wajah ini ternyata tak mampu membuyarkan ingatan ini atas semua yang telah terjadi. Andaikah tak pernah ada langkah di esok pagi, mungkin semua akan bersisa dengan penyesalan atas segalanya. Dan aku merasakannya.
Bermuhasabah, membayangkan seandainya aku berada diantara mereka yang kini telah berada menunggu di alam sana. Aku menghentikan langkahku.
Sebuah makam yang terlalu kusam untuk dikatakan sebagai sebuah tempat peristirahatan kini membisu di ujung sana. Sebuah ukiran nama yang telah semakin samar tertulis dibalik tingginya ilalang yang menutupinya. Tak ada seikat bunga, tak ada sebuah bintang jasa. Hanya ada sebuah tanya, apakah bahagia dia yang mengisinya disana? ataukah justru siksa yang tengah dia derita? Wallahu'alam ...
Aku tertegun ...
Kerikil kecil mulai menghadang didepan sana.
Ingin rasanya aku berlari, melupakan segalanya dan menjauh darinya. Dari semua yang akan membawaku ke satu poros waktu menuju satu dimensi baru kehidupan barzah-nya. Kapanpun itu.
Namun dilain waktu, ingin rasanya aku justru berlari dan meraih semuanya lebih cepat dari seharusnya. Memasuki dimensi baru itu yang mungkin akan membawa diri ini terlepas dari semua keangkuhan dan ketidakadilan dunia.
Setiap jiwa memang akan merasakannya. Merasakan satu hal yang mereka sebut sebagai kematian itu. Setidaknya memang begitulah berkali Alloh mengatakannya dalam firman-Nya. Dan akupun menyadari sepenuhnya.
Namun yang selalu menjadi pertanyaan bagiku adalah, mengapa meskipun aku tahu akan semua itu tapi tak jarang aku seakan melupakannya dan tak sedikitpun mengindahkannya.
Tak jarang aku justru melalaikannya dan membiarkan semuanya bagaikan air yang mengalir tak berujung dan tak berarah.
Aku masih berdiri. Diantara batu nisan yang berbaris rapi dan diantara ilalang yang semakin meninggi menutupi lahan tandus yang kini mulai basah oleh hujan tadi malam.
Perlahan aku menundukkan pandangku. Haruskah kubenamkan wajahku dalam rasa untuk berkata, "Betapa rapuhnya aku?". Semoga saja tidak.
Dan andaikan esok mentari pagi akan menari lagi, dan awan putih mengaraknya kembali menuntun langkah ini untuk kembali tertatih dan berlari. Kini aku harapkan untuk mampu berdiri dan berlari, bukan lagi menuju keremangan jiwa, namun menuju cahaya-Nya yang akan semakin menerangi jiwa. Melangkah dalam rahmat dan ridha-Nya.
Aku mengharapmu yaa RABB ...Untuk hidup yang lebih baik. InsyaAlloh ...
No comments:
Post a Comment